Peran dan pemanfaatan mikroorganisme lokal (MOL) mendukung
pertanian organik
PENDAHULUAN
Kecenderungan ketergantungan petani pada penggunaan pupuk dan pestisida anorganik sejak diterapkannya revolusi hijau (1970-2005) menimbulkan dampak negatif yang berkaitan dengan degradasi lingkungan. Subsidi harga dari pemerintah dan pengaruh pupuk dan pestisida anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman ikut mendorong preferensi petani terhadap pupuk anorganik sehingga penggunaan bahan organik sebagai komponen pembentuk kesuburan tanah semakin ditinggalkan.
Bahan organik memiliki peranan penting sebagai sumber karbon, dalam pengertian luas sebagai sumber pakan, dan juga sebagai sumber energi untuk mendukung kehidupan dan berkembangbiaknya berbagai jenis mikroba tanah (Sisworo, 2006). Penurunan kandungan bahan organik tanah menyebabkan mikroba dalam tanah mengalami defisiensi karbon sebagai pakan sehingga perkembangan populasidan aktivitasnya terhambat. Hal ini mengakibatkan proses mineralisasi hara menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman akan terhambat. Tanah yang mengalami defisiensi sumber energi bagi mikroba menjadi berstatus lelah atau fatigue (Pirngadi, 2009). Kondisi tersebut berdasarkan salah satu indikator kesuburan tanah adalah kandungan C-Organik. Komponen C-Organik dari 65 % tanah di Indonesia di bawah 1 %, yang harusnya diatas 2 %. Hal tersebut lebih diperburuk dengan kondisi dimana pertambahan input pada tanah sebagai media tanam tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman (levelling off).
Permasalahan diatas menimbulkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan suatu sistem pertanian yang ramah lingkungan untuk suatu keberlanjutan. Selain itu didukung pula oleh berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan yang menjadikan produk organik sebagai tren bahan makanan yang dikonsumsi. Konsep pertanian berkelanjutan yang diterapkan dalam era Revolusi Hijau Lestari (RHL) yang dicetuskan sejak tahun 2006 yaitu peningkatan produktivitas tanaman dengan mengacu sistem agroekologi alamiah yang secara lestari dapat mendukung kehidupan biota diatasnya. Secara alamiah, siklus karbon biologis dan unsur lainnya terjadi secara in situ, sehingga berdampak terhadap keberlanjutan kehidupan biota penyusun ekologi. Sumarno (2006) menyatakan bahwa hara untuk pertumbuhan tanaman optimal dan untuk mempertahankan kesuburan tanah dapat berasal dari : asli tanah (indigenenous nutrients), endapan lumpur dari wilayah hulu; dari pengairan; dari air hujan; dari pupuk organik; dari pupuk anorganik (sintesis); dari residu tanaman; dan penambatan N oleh tanaman legum; tumbuhan air dan mikroba; dan bahkan dari debu, abu gunung dan kilat. Hara yang berasal dari dekomposisi mikroba, hewan rendah dan hewan tinggi juga merupakan sumber hara yang legitimate pada teknologi Revolusi Hijau Lestari. Penerapan pertanian organik merupakan pilihan yang bijaksana untuk mewujudkan pertanian lestari.
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang ramah lingkungan yang bersifat hukum pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian maupun ternakyang selanjutnya bertujuan untuk memenuhi makanan pada tanah yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tamanan. Proses pengomposan secara alami memerlukan waktu yang lama sehingga diperlukan mikroba dekomposer yang mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Mikroorganisme Lokal (MOL) banyak ditemukan di lapang dan sudah terbukti bermanfaat sebagai dekomposer, pupuk hayati dan pestisida hayati.
Saat ini telah banyak mikroba pengompos komersil yang ada di pasaran tetapi masih mengalami tantangan dalam pengembangannya ditingkat petani dalam hal efektivitas dan efisiensi dekomposer yang digunakan terkait dengan mutu yang dihasilkan, biaya dan tingkat kemudahan aplikasinya. Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal (MOL) yang mempunyai keuntungan dari segi biaya yang relatif murah dan kemudahan aplikasinya merupakan pilihan yang telah diterapkan oleh beberapa petani di beberapa daerah. Selain sebagai dekomposer, MOL juga digunakan sebagai pupuk dan pestisida hayati yang dapat diaplikasikan langsung ke tanaman.
Kecenderungan ketergantungan petani pada penggunaan pupuk dan pestisida anorganik sejak diterapkannya revolusi hijau (1970-2005) menimbulkan dampak negatif yang berkaitan dengan degradasi lingkungan. Subsidi harga dari pemerintah dan pengaruh pupuk dan pestisida anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman ikut mendorong preferensi petani terhadap pupuk anorganik sehingga penggunaan bahan organik sebagai komponen pembentuk kesuburan tanah semakin ditinggalkan.
Bahan organik memiliki peranan penting sebagai sumber karbon, dalam pengertian luas sebagai sumber pakan, dan juga sebagai sumber energi untuk mendukung kehidupan dan berkembangbiaknya berbagai jenis mikroba tanah (Sisworo, 2006). Penurunan kandungan bahan organik tanah menyebabkan mikroba dalam tanah mengalami defisiensi karbon sebagai pakan sehingga perkembangan populasidan aktivitasnya terhambat. Hal ini mengakibatkan proses mineralisasi hara menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman akan terhambat. Tanah yang mengalami defisiensi sumber energi bagi mikroba menjadi berstatus lelah atau fatigue (Pirngadi, 2009). Kondisi tersebut berdasarkan salah satu indikator kesuburan tanah adalah kandungan C-Organik. Komponen C-Organik dari 65 % tanah di Indonesia di bawah 1 %, yang harusnya diatas 2 %. Hal tersebut lebih diperburuk dengan kondisi dimana pertambahan input pada tanah sebagai media tanam tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman (levelling off).
Permasalahan diatas menimbulkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan suatu sistem pertanian yang ramah lingkungan untuk suatu keberlanjutan. Selain itu didukung pula oleh berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan yang menjadikan produk organik sebagai tren bahan makanan yang dikonsumsi. Konsep pertanian berkelanjutan yang diterapkan dalam era Revolusi Hijau Lestari (RHL) yang dicetuskan sejak tahun 2006 yaitu peningkatan produktivitas tanaman dengan mengacu sistem agroekologi alamiah yang secara lestari dapat mendukung kehidupan biota diatasnya. Secara alamiah, siklus karbon biologis dan unsur lainnya terjadi secara in situ, sehingga berdampak terhadap keberlanjutan kehidupan biota penyusun ekologi. Sumarno (2006) menyatakan bahwa hara untuk pertumbuhan tanaman optimal dan untuk mempertahankan kesuburan tanah dapat berasal dari : asli tanah (indigenenous nutrients), endapan lumpur dari wilayah hulu; dari pengairan; dari air hujan; dari pupuk organik; dari pupuk anorganik (sintesis); dari residu tanaman; dan penambatan N oleh tanaman legum; tumbuhan air dan mikroba; dan bahkan dari debu, abu gunung dan kilat. Hara yang berasal dari dekomposisi mikroba, hewan rendah dan hewan tinggi juga merupakan sumber hara yang legitimate pada teknologi Revolusi Hijau Lestari. Penerapan pertanian organik merupakan pilihan yang bijaksana untuk mewujudkan pertanian lestari.
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang ramah lingkungan yang bersifat hukum pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian maupun ternakyang selanjutnya bertujuan untuk memenuhi makanan pada tanah yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tamanan. Proses pengomposan secara alami memerlukan waktu yang lama sehingga diperlukan mikroba dekomposer yang mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Mikroorganisme Lokal (MOL) banyak ditemukan di lapang dan sudah terbukti bermanfaat sebagai dekomposer, pupuk hayati dan pestisida hayati.
Saat ini telah banyak mikroba pengompos komersil yang ada di pasaran tetapi masih mengalami tantangan dalam pengembangannya ditingkat petani dalam hal efektivitas dan efisiensi dekomposer yang digunakan terkait dengan mutu yang dihasilkan, biaya dan tingkat kemudahan aplikasinya. Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal (MOL) yang mempunyai keuntungan dari segi biaya yang relatif murah dan kemudahan aplikasinya merupakan pilihan yang telah diterapkan oleh beberapa petani di beberapa daerah. Selain sebagai dekomposer, MOL juga digunakan sebagai pupuk dan pestisida hayati yang dapat diaplikasikan langsung ke tanaman.
PELUANG PENGEMBANGAN PERTANIAN
ORGANIK DI INDONESIA
Di Indonesia, setiap tahunnya lebih
dari 165 juta ton bahan organik dihasilkan dari limbah panen tanaman pangan dan
hortikultura, namun potensi tersebut pada umumnya belum terkelola dengan
baik. Di lain pihak, kandungan bahan organik dalam tanah pertanian saat
ini rendah, rata-rata kurang dari 2 % (Pirngadi, 2009). Umumnya bahan organik
yang dihasilkan dari limbah pertanian dialihkan oleh petani untuk berbagai
penggunaan lain yang seyogianya dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik.
Pilihan untuk menerapkan pertanian
organik telah disadari oleh beberapa kalangan untuk meningkatkan produktivitas
lahan dan tanaman tanpa mengabaikan prinsip enviromental sustainability.
Berbagai pemikiran tentang pertanian organik yang dipahami masyarakat.
Pertanian organik dipahami sebagai
teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan
bahan-bahan kimia sintetis. Tetapi jika melihat kondisi saat ini yang menuntut
peningkatan produktivitas dan kemampuan tanah menyediakan hara maka terdapat
pemikiran bahwa pertanian organik (dan penggunaan pupuk organik) juga merupakan
sistem pertanian yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu masukan yang
berfungsi sebagai pembenah tanah dan suplemen pupuk buatan (kimia anorganik).
Pestisida dan herbisida digunakan secara selektif dan rasional atau menggunakan
biopestisida. Landasan prinsipilnya adalah sistem pertanian modern,
mengutamakan produktivitas, efisiensi produksi, serta keamanan dan kelestarian
lingkungan dan sumber daya. Akan tetapi menurut IFOAM (2005), pertanian
organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang
mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejateraan. Oleh kerenanya, harus
dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif
makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia
sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha
pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan
perkebunan. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di
pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai
keunggulan komparatif antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat
dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk
mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos,
tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain (Litbang Pertanian,
2011).
PERAN DAN KEUNTUNGAN PENGGUNAAN MOL
Gambar 1. Biang beberapa jenis MOL
Larutan MOL adalah larutan hasil
fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia
setempat. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga
mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang
pertumbuhan, dan sebagai agens pengendali hama dan penyakit tanaman, sehingga
MOL dapat digunakan baik sebagai dekomposer, pupuk hayati dan sebagai pestisida
organik terutama sebagai fungisida. Larutan MOL dibuat sangat
sederhana yaitu dengan memanfaatkan limbah dari rumah tangga atau tanaman di
sekitar lingkungan misalnya sisa-sisa tanaman seperti bonggol pisang, gedebong
pisang, buah nanas, jerami padi, sisa sayuran, nasi basi, dan lain-lain. Bahan
utama dalam larutan MOL teridiri dari 3 jenis komponen, antara lain :
Karbohidrat : air cucian beras, nasi bekas, singkong, kentang dan gandum
; Glukosa : cairan gula merah, cairan gula pasir, air kelapa/nira dan;
Sumber bakteri : keong mas, buah-buahan misalnya tomat, pepaya, dan kotoran
hewan (Purwasasmita, 2009).
Kurnia et.al (2003) melakukan
analisis sampel larutan MOL Berenuk dan larutan MOL Air Kelapa dan Sampah
Dapur. Ditemukan bahwa larutan MOL berenuk mengandung bacillus sp,
sacharomyces sp, azospirillium sp, dan azotobacter. MOL sampah dapur
mengandung pseudomonas, aspegillus sp, dan lactobacillus sp.
Keunggulan utama penggunaan MOL
adalah murah bahkan tanpa biaya, selain itu ada beberapa
keuntungan :
- Mendukung pertanian ramah lingkungan
- Dapat mengatasi permasalahan pencemaran limbah pertanian dan limbah rumah tangga
- Pembuatan serta aplikasinya mudah dilakukan
- Mengandung unsur kompleks dan mikroba yang bermanfaat dalam produk pupuk dan dekomposer organik yang dihasilkan.
- Memperkaya keanekaragaman biota tanah
- Memperbaiki kualitas tanah dan tanaman
Secara umum, pemanfaatan MOL salah
satu upaya meningkatkan kemandirian petani. Beberapa jenis larutan MOL yang
telah diaplikasikan oleh petani dibeberapa daerah antara lain :
- MOL buah-buahan yang diaplikasikan pada tanaman sebagai pupuk dan dekomposer dalam pembuatan kompos
- MOL daun cebreng untuk penyubur daun tanaman
- MOL bonggol pisang untuk dekomposer saat pembuatan kompos
- MOL sayuran yang disemprotkan pada tanaman padi
- MOL rebung bambu untuk merangsang pertumbuhan tanaman.
Jenis dan Pembuatan MOL
Beberapa jenis MOL dan cara
membuatnya yang telah dikenal antara lain :
1. MOL Buah-buahan
Bahan :
- Limbah buah-buahan Pepaya, pisang, mangga, apel dll,10 Kg
- Gula merah 1 kg dicairkan
- 10 liter air kelapa
Cara Membuat
:
a. Buah-buahan ditumbuk/dihaluskan
b. Masukkan ke dalam drum/tong plastic
c. Campurkan dengan air kelapa
d. Masukkan gula merah yang telah dicair
e. Tutup dengan plastik, beri lubang udara dengan cara memasukkan slang plastik yang dihubungkan dengan botol yang sudah terisi air
f. Biarkan selama 10 – 15 hari
Cara Penggunaan :
a. Campurkan MOL buah-buahan yang telah jadi dan air dengan komposisi 1 : 5 liter, kemudian tambahkan gula 1 ons. Siramkan pada bahan organik (bahan baku kompos) yang akan dikomposkan
b. Penggunaan sebagai pupuk hayati : semprotkan pada tananam dengan konsentrasi larutan 400 cc dicampur dengan air tawar sebanyak 14 liter. Untuk tanaman padi, waktu penyemprotan dilakukan pada umur tanaman akhir vegetatif (55 – 60 hari).
2. MOL Nasi Basi
a. Buah-buahan ditumbuk/dihaluskan
b. Masukkan ke dalam drum/tong plastic
c. Campurkan dengan air kelapa
d. Masukkan gula merah yang telah dicair
e. Tutup dengan plastik, beri lubang udara dengan cara memasukkan slang plastik yang dihubungkan dengan botol yang sudah terisi air
f. Biarkan selama 10 – 15 hari
Cara Penggunaan :
a. Campurkan MOL buah-buahan yang telah jadi dan air dengan komposisi 1 : 5 liter, kemudian tambahkan gula 1 ons. Siramkan pada bahan organik (bahan baku kompos) yang akan dikomposkan
b. Penggunaan sebagai pupuk hayati : semprotkan pada tananam dengan konsentrasi larutan 400 cc dicampur dengan air tawar sebanyak 14 liter. Untuk tanaman padi, waktu penyemprotan dilakukan pada umur tanaman akhir vegetatif (55 – 60 hari).
2. MOL Nasi Basi
Salah satu limbah rumah tangga yang paling banyak diproduksi tiap harinya adalah nasi basi. Nasi basi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan MOL untuk bioaktifator maupun pupuk hayati. Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
- Nasi basi, secukupnya
- Air
- Gula pasir, 5 sendok makan
Cara Membuat :
a. Kepal-kepal nasi basi sebesar bola pingpong
b. Letakkan bola-bola nasi tersebut di dalam kardus, lalu tutup dengan dedaunan (misalnya daun pisang yang membusuk. Dalam jangka waktu 3 hari, akan tumbuh jamur-jamur berwarna kuning, jingga dan merah
Cara Penggunaan :
a. Campurkan MOL nasi basi yang telah jadi dan air dengan komposisi 1 : 5 liter, kemudian tambahkan gula 1 ons. Siramkan pada bahan organik (bahan baku kompos) yang akan dikomposkan
b. Penggunaan sebagai pupuk hayati : semprotkan pada tananam dengan konsentrasi larutan 400 cc dicampur air tawar sebanyak 14 liter.
a. Kepal-kepal nasi basi sebesar bola pingpong
b. Letakkan bola-bola nasi tersebut di dalam kardus, lalu tutup dengan dedaunan (misalnya daun pisang yang membusuk. Dalam jangka waktu 3 hari, akan tumbuh jamur-jamur berwarna kuning, jingga dan merah
Cara Penggunaan :
a. Campurkan MOL nasi basi yang telah jadi dan air dengan komposisi 1 : 5 liter, kemudian tambahkan gula 1 ons. Siramkan pada bahan organik (bahan baku kompos) yang akan dikomposkan
b. Penggunaan sebagai pupuk hayati : semprotkan pada tananam dengan konsentrasi larutan 400 cc dicampur air tawar sebanyak 14 liter.
3. MOL Keong Mas
Bahan :
- Keong mas yang masih hidup (segar) 5 kg
- Gula merah 1 kg atau buah Maja yang telah matang 2 buah, jika tidak ada dapat diganti dengan cairan tebu 1 liter
- Air kelapa 10 liter
Cara Membuat :
a. Keong mas ditumbuk hingga halus dan masukkan ke dalam tong sampah
b. Campurkan dengan gula merah atau buah maja yang sudah dihaluskan atau air tebu.
c. Masukkan air kelapa dan aduk sampai merata
d. Kemudian tutup rapat dengan plastik dan berikan slang plastik sambungan pada botol yang telah berisi air
e. Biarkan selama 15 hari
a. Keong mas ditumbuk hingga halus dan masukkan ke dalam tong sampah
b. Campurkan dengan gula merah atau buah maja yang sudah dihaluskan atau air tebu.
c. Masukkan air kelapa dan aduk sampai merata
d. Kemudian tutup rapat dengan plastik dan berikan slang plastik sambungan pada botol yang telah berisi air
e. Biarkan selama 15 hari
Cara Aplikasi :
a. Pengomposan : cairan/ekstrak
(MOL) keong mas dicampur air dengan konsentrasi 1 : 5 (artinya 1 liter cairan
MOL dicampur dengan 5 liter air tawar, kemudian tambahkan 1 ons gula merah aduk
hingga rata dan siramkan pada bahan organik yang akan dikomposkan
b. Penggunaan sebagai pupuk
hayati : semprotkan pada tananam dengan konsentrasi larutan 400 cc
dicampur dengan air tawar sebanyak 14 liter. Pada tanaman padi, sejak
fase vegetatif hingga generatif pasca tanam yaitu hari ke 10, 20, 30 dan
40. Semprotkan pada pagi/sore hari, hindari penyemprotan pada siang hari.
4. MOL Rebung Bambu
Bahan :
Bahan :
- 2 buah rebung bambu kurang lebih 3 kg
- Air beras 5 liter
- 1,5 ons gula merah atau bisa digunakan 1 buah maja.
Cara Membuat :
a. Rebung bambu ditumbuk halus atau diiris-iris kemudian masukan kedalam ember atau tong plastik
b. Campurkan dengan buah maja yang sudah dihaluskan atau tambahkan gula merah yang telah dihaluskan dan aduk sampai rata
c. Rendam dengan air cucian beras sebanyak 5 liter
d. Tutup rapat ember/tong dengan platik, dan berikan slang palstik yang disambungkan dengan air yang berada pada botol
e. Biarkan selama 15 hari
a. Rebung bambu ditumbuk halus atau diiris-iris kemudian masukan kedalam ember atau tong plastik
b. Campurkan dengan buah maja yang sudah dihaluskan atau tambahkan gula merah yang telah dihaluskan dan aduk sampai rata
c. Rendam dengan air cucian beras sebanyak 5 liter
d. Tutup rapat ember/tong dengan platik, dan berikan slang palstik yang disambungkan dengan air yang berada pada botol
e. Biarkan selama 15 hari
KESIMPULAN
- Larutan MOL dapat berfungsi sebagai dekomposer, pupuk hayati dan sebagai pestisida organik yang ramah lingkungan.
- MOL bermanfaat sebagai salah satu cara untuk mengatasi pencemaran lingkungan oleh limbah pertanian dan rumah tangga, memperbaiki kualitas tanah dan tanaman, memperkaya biota tanah dan menghasilkan produk yang aman dan sehat untuk mendukung pertanian organik.
- Pemanfaatan MOL merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemandirian petani karena dalam pembuatan dan pengaplikasiannya murah dan mudah dilaksanakan oleh petani dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
BP4K Sukabumi, 2011.
Cara Pembuatan Mikroorganisme Lokal. http://bp4kkabsukabumi.net. Diakses 04
Juli 2011
IFOAM, 2005. Prinsip-Prinsip
Pertanian Organik (terjemahan). International Federations of Organic
Agriculture Movements. Bonn,Germany
Litbang Pertanian, 2011.
Prospek Pertanian Organik di Indonesia. www.litbang.deptan.go.id.
Diakses 04 Juli 2011.
Kurnia, K.P. Arbianto dan I.N.P.
Aryantha (2003). Studi Patogenitas Bakteri Entamopathogenik Lokal pada
Larva Hyposidra Talaca Wlk dan Optimasi Medium Pertumbuhannya. Seminar
Bulanan Bioteknologi – PPAU Bioteknologi ITB, 15 September 2004, Bandung.
Pirngadi K., 2009. Peran Bahan
Organik dalam Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan Mendukung Ketahanan Pangan
Nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1) : 48-64
Purwasasmita, M. 2009.
Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus Kehidupan. Dalam Bioreaktor Tanaman.
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, 19-20 Oktober 2009.
Setiawan, B.S., dan Tim Penulis
ETOSA IPB, 2010. Membuat Pupuk Kandang secara Cepat. Penebar
Swadaya. Jakarta
Sisworo, W.H., 2006.
Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan. Tantangan Abad Dua Satu :
Pendekatan Ilmu Tanah, tanaman dan Pemanfataan Iptek Nuklir. Dalam
A. Hanafiah WS, Mugiono,dan E.L. Sisworo. Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Jakarta. 207 hal.
Sumarno, 2006. Sistem Produksi
Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi Hijau Lestari. Buletin Iptek
Tanaman Pangan 1 (1) : 1-15
Sutanto, R., 2002. Penerapan
Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangan. Kanisius,Yogyakarta.
219 hal.
Penulis : Herniwati dan Ir. Basir Nappu, MS